Social Icons

.

Pages

Jumat, 05 September 2014

Seri 3 (Akhir) : Al Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahulloh

Pujian dan Penghormatan Para Ulama Kepada Al Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahulloh

Al Imam Asy Syafi‘i rahimahulloh pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun Ar Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Al Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Al Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Al Imam Asy Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195 H, Al Imam Asy Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah Al Amin, tetapi lagi-lagi Al Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Al Imam Asy Syafi‘i rahimahulloh masuk menemui Al Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu dariku tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Al Imam Asy Syafi‘i karena tak sungkan untuk mengembalikan ilmu kepada ahlinya.

Al Imam Asy Syafi‘i rahimahulloh juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidaklah aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad Bin Hanbal.”

Abdul Wahhab Al Warraq rahimahulloh berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad Bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.” Ahmad Bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid Bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad Bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun Bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Ujian Yang Menimpa Al Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahulloh Dan Keteguhan Beliau Dalam membela Sunnah

Tidak dapat dipungkiri dan telah menjadi sunnatulloh bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Al Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau rahimahulloh mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah Al Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan Al Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok aliran sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadariyah, Jahmiyah, Asy‘ariyah, Syi’ah Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah Al Ma’mun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi Al Ma’mun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah Al Ma’mun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Al Quran.

Sebenarnya Harun Ar Rasyid, khalifah sebelum Al Ma’mun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Al Quran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun Ar Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr Al Muraisi mengatakan bahwa Al Quran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala Khalifah Ar Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan Al Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring Al Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi Al Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan Al Ma’mun, mereka mampu melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Al Quran, Al Ma’mun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Al Quran, termasuk di antaranya Al Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Al Quran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al Ma’mun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Al Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Al Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian Al Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Al Imam Ahmad tetap mendoakan Al Ma’mun.

Sepeninggal Al Ma’mun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, Al Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari Al Ma’mun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Al Quran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut, dan dia pun melaksanakannya. Al Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad beserta para gerombolannya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Al Quran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya Al Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan Al Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Al Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang tersebut selama 3 periode kekhalifahan yaitu Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.

Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.

Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.

Al Imam Ali Bin Al Madini rahimahulloh berkata menggambarkan keteguhan Al Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar As Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.

Wasiat Al Imam Ahmad Bin Hanbal Kepada Muridnya Musaddad Rahimahumalloh

Al Imam Abu Abdillah Ibnu Baththoh Al ’Ukbari rahimahulloh meriwayatkan dalam kitabnya Al Ibanah, sebuah kisah yang sangat indah tentang berpegang teguh kepada As Sunnah.

Kisahnya, adalah salah seorang murid Al Imam Ahmad Bin Hanbal rahimahulloh yang bernama Musaddad rahimahulloh merasa kebingungan menghadapi dan menyikapi berbagai macam kelompok dan golongan dalam Islam, lalu berkirim surat kepada Al Imam Ahmad Bin Hanbal rahimahulloh meminta nasehat; “Tuliskanlah untukku yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”

Ketika surat tersebut telah sampai kepada Al Imam Ahmad Bin Hanbal rahimahulloh, beliau menangis serya berkata; “Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un, orang Bashrah ini (maksudnya Musaddad) mengklaim telah mengeluarkan harta yang banyak untuk mencari ilmu akan tetapi tidak tahu ajaran yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam?.”

Kemudian Al Imam Ahmad Bin Hanbal rahimahullah mengirimkan surat balasan yang diantara isinya adalah:

“….. Aku berwasiat kepadamu dan kepada diriku agar bertakwa kepada Allah Yang Maha Agung dan istiqomah mengikuti sunnah. Sungguh kamu telah mengetahui bencana yang menimpa siapa saja yang menyelisihinya dan nikmat yang didapatkan oleh siapa saja yang mengikutinya.

Telah sampai sampai kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah akan memasukkan seorang hamba ke dalam surga karena sunnah yang ia berpegangteguh dengannya…..”

Diantara Karya Al Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahulloh

Buah karya beliau rahimahulloh sangat banyak sekali, di antaranya:

1. Kitab Al Musnad, karya yang paling fenomenal nan menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.

2. Kitab At Tafsir, namun Al Imam Adz Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.

3. Kitab Az Zuhud

4. Kitab Fadha-il Ahlil Bait

5. Kitab Jawabatul Qur’an

6. Kitab Al Iman

7. Kitab Ar Radd ‘Alal Jahmiyyah

8. Kitab Al Asyribah

9. Kitab Al Fara-idh, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sakit Dan Wafat Al Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahulloh

Setelah beliau rahimahulloh dibebaskan dari penjara beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai Al Mu‘tashim wafat.

Selanjutnya, Al Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, Al Mu‘tashim, Al Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad beserta gerombolannya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al Watsiq melarang Al Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Al Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai Al Watsiq meninggal tahun 232 H.

Sesudah Al Watsiq wafat, Al Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Al Quran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234 H, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Al Quran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin Al Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 H, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai ratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.

Beliau rahimahulloh pernah berkata tatkala masih sehat, “Katakan kepada ahli bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”

Demikianlah sekilas kisah riwayat hidup beliau rahimahulloh, mudah-mudahan menjadikan kita tergugah untuk konsisten dalam agama ini. Aamiin.

Maraji’ (Daftar Pustaka):

1. Musthalah Hadits karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin rahimahulloh
2. Al Ibanah karya Al Imam Ibnu Baththoh rahimahulloh
3. Al Bidayah Wan Nihayah karya Al Imam Ibnu Katsir rahimahulloh
4. Fadha-il Ash Shahabah rahimahulloh
5. Siyar A’lamin Nubala’ karya Al Imam Adz DzahabI rahimahulloh

Penulis: Ust. Agung Cahyono, S.Pd.

 
Blogger Templates