Al-Imam As-Syatibi Rahimahullah berkata : “
“ Barangsiapa yang melihat kepada sebab-sebab antara baik dan buruknya maka akan mendapatkan ketetapan besar yang menetapkan berlakunya sebab apakah sesuai dengan yang disyariatkan atau bertentangan
dengannya.
Dari sinilah amalan-amalan lahir dijadikan sebagai bukti dan dalil dalam syariat untuk menunjukkan apa yang ada didalam batin, jika lahirnya menyimpang maka batinnya juga menyimpang. Dan jika lahirnya lurus maka
batinnya dihukumi lurus pula. Dan dia (kesesuaian lahir batin) sebagai dasar umum dalam masalah fiqih dan hukum-hukum kebiasaan. Bahkan dengan melihat kepadanya (lahir dan batin) sangat bermanfaat dalam kebanyaan hukum syariat.
Dalil yang menjelaskan akan hal itu banyak sekali. Cukuplah sebagai bukti yang menunjukkan akan kesesuaian lahir dan batin adalah saat melihat keimanan seorang mukmin, kekafiran seorang kafir, ketaatan seorang yang taat, kemaksiyatan
seorang yang berbuat maksiyat, kelurusan orang yang berbuat adil, dan kecelaan orang yang tercela. Dan dengan kesesuaian lahir dan batin pula akan terburai ikatan-ikatan dan akan terikat perjanjian-perjanjian dll. Kesesuaian
lahir dan batin juga sebagai pokok pembebanan syariat dalam masalah tegaknya batasan syiar-syiar Islam baik yang khusus ataupun yang umum “. (Lihat kitab “al-Muwafaqat” karangan Asy-Syathibi jilid 1 hal 233).
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan : “ Allah Ta’ala berfirman :
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl 106).
Bahwasanya barangsiapa yang kafir tanpa ada paksaan maka ia telah melapangkan dadanya untuk kekafiran. Dan jika tidak demikian maka telah bertentangan dengan awal dan akhir ayat diatas. Dan seandainya maksud dari orang yang kafir adalah yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dan itu dilakukan tanpa paksaan maka tidak akan dikecualikan hanya untuk orang yang terpaksa saja, akan tetapi wajib untuk dikecualikan antara orang yang terpaksa dan yang tidak terpaksa jika tidak melapangkan dadanya untuk kekafiran. Dan jika sendainya ia berbicara dengan kalimat kekufuran dengan kehendaknya maka ia telah melapangkan dada untuk kekafiran dan itulah kekafiran yang sebenarnya. Firman Allah SWT telah menunjukkan akan hal ini :
64. orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)." Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.65. dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"66. tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (Q.S. at-Taubah 64-66).
Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan bahwa mereka (orang-orang munafik) telah kafir setelah mereka beriman hanya dengan perkataan mereka sesungguhnya kami mengatakan kekafiran ini tanpa
ada keyakinan (akan kekafiran) tetapi kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja. Dan Allah menjelaskan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah adalah suatu kekafiran. Hal ini tidaknya terjadi kecuali dari orang yang melapangkan
dadanya berbicara akan ayat-ayat Allah. Seandainya ada keimanan dalam hatinya niscaya akan mencegahnya untuk berkata perkataan kufur ini “. (Kitabul Iman kar. Ibnu Taimiyah hal. 188).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata : “ Keimanan dalam hati menolak keinginan untuk berbicara (kekufuran), dan keinginan untuk berbuat (kekufuran)
adalah termasuk peremehan, sebagaimana keimanan mewajibkan rasa cinta dan pengagungan, ini sebuah konsekwensi yang merupakan sunnatullah dan berlaku atas para makhluk “. (As-Shorim al-Maslul karya Ibnu Taimiyah Hal. 524).
Beliau juga berkata : “ Sesungguhnya mencaci Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kekafiran lahir dan batin, baik si pencaci menyakini pengharaman atau penghalalan
atau mungkin lupa dari keyakinannya (mencaci Allah dan Rasul-Nya). Ini adalah madzab para ulama fiqih dan pendapat seluruh ulama ahlussunnah yang mengatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan “. (As-Shorim al- maslul hal. 512).
Dan untuk memperjelas lagi kesesuaian antara lahir dan batin adalah firman Allah Ta’ala
:
81. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Maidah 81).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan rusaknya lahir sebagai bukti akan rusaknya aqidah dan batin mereka (Yahudi).
