Social Icons

.

Pages

Kamis, 21 Agustus 2014

TAHAN DIRI DARI BERKILAH

@Abu Yahya Al-Fakih

Kesungguhan dalam mempersembahkan penghambaan diri yang terbaik kepada Allah sangat ditekankan. Setiap hamba diharapkan senang mengoptimalkan ibadah kepada Allah dan melakukannya tepat waktu, sesuai ketetapan dari-Nya. Qalbu yang menerima pancaran cahaya Allah akan rindu akan kedekatan dengan Allah secara optimal.

Sebaliknya, qalbu yang kotor, yang penuh noktah dosa, yang gulita, senantiasa dalam keadaan terpedaya. Merasa telah sempurna dalam beribadah kepada Allah, padahal hanya prasangkaan belaka. Seringkali berkilah, mencari-cari alasan untuk bisa lepas dari tanggungan ibadah, mengais dalih kemudian merasa tidak bersalah atas keteledoran maupun kesengajaannya terhadap kualitas dan kuantitas ibadah yang kian minus, begitu pula taubat yang tidak serius.

Kebiasaan berkilah ini harus kita enyahkan dari qalbu, agar kita tidak tertipu, sebab kematian setiap saat pasti menyerbu, lantas akankah dalam kerugian akhirat, kita akan termangu? Penurunan kualitas dan kuantitas ibadah walaupun sekecil debu, sudah merupakan ketertipuan dan kekalahan. Kita pasti ingat betul betapa kerasnya permusuhan syaithan. Syaithan-lah yang berhasil mendidik qalbu kita untuk pintar mencari-cari alasan yang sebetulnya tidak bisa dibenarkan.

Saat adzan berkumandang, terkadang terucap, “Cepat sekali baru saja adzan sudah adzan lagi.” Kemudian kita masih saja melanjutkan kesibukan. Hingga shalat jama’ah usai, kita tidak juga berada di masjid. Alasannya, waktu shalat masih panjang, atau sedang repot dengan ta’lim maupun muthala’ah, atau sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, atau mengasuh anak karena sang istri sedang pergi.

Kita juga menyaksikan, banyak sekali pelaku kejahatan yang suka berkilah untuk mencari pembenaran atas perbuatannya, minimal bisa meringankan hukuman yang hendak menimpanya. Kita pun merasakan pernah enggan dan menolak berinfaq dengan kilah takut kekurangan harta pada saat membutuhkan.
Saat ada khilafiyah ijtihadiyah yaitu perbedaan pandangan para ulama mujtahid, kita kerap tergoda untuk tasahhul (bermudah-mudahan) dan tatabbu’ rukhshah atau mencari pendapat yang ringan. Tidak jauh berbeda kondisinya dengan para pencetus, penggagas, pegiat, pendukung, pembela bid’ah. Mereka mencari qaul-qaul yang bisa menjadi argumen. Kalau perlu biasanya ayat dan hadits dipelintir (ditahrif) sedemikian rupa agar bisa sesuai keinginan.


AL-ALADD AL-KHASHIM

Betapa kita ingin termasuk orang-orang yang terpandang dan terhormat di mata manusia akan tetapi mengapa kita sering abai dengan derajat kita di sisi Allah? Salah satunya adalah derajat al-aladd al-khashim. Semakin sering kita berkilah untuk bisa bebas dari ketentuan syariah, semakin meningkat derajat al-aladd al-khashim kita.

Dari Aisyah, Rasul bersabda,

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ الأَلَدُّ الْخَصِمُ.

“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling cerdik berkilah.” [Shahih Al-Bukhari no. 2457, 4523, 7188; Shahih Muslim no. 6951; Sunan At-Tirmidzi no. 3242; Sunan An-Nasa`i no. 5440]

Mengenai Al-Aladd Al-Khashim ini banyak sekali ulama yang tertarik mengurai maknanya yang seringkali dikaitkan dengan konteks hadits. Ibnu Hajar (Fat-h Al-Bari 1/183) mengartikannya sebagai orang yang permusuhannya terhadap sesuatu itu abadi atau dalam bahasa kita seperti istilah bermusuhan sampai tujuh turunan. Ibnu Baththal (Syarh Shahih Al-Bukhari 8/259) mengartikannya sebagai orang yang menyia-nyiakan hak-hak segala sesuatu yang punya hak, menunda pemenuhan hak tersebut, dan juga berbuat zhalim.

Penjelasan menarik disampaikan oleh An-Nawawi (Al-Minhaj 9/24), “Setiap kali orang itu (yakni al-aladd al-khashim) disampaikan kepadanya hujjah-hujjah kebenaran, maka dia mencari “jalan” lain (yakni mengelak)... Jadi yang tercela adalah bermusuhan secara bathil agar bisa mengelak dari kebenaran, atau dalam rangka mengokohkan kebathilan.”

AKAL BULUS “SAPI” RAKUS

Dari Ibnu ‘Amr, Nabi bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبْغِضُ الْبَلِيغَ مِنَ الرِّجَالِ الَّذِي يَتَخَلَّلُ بِلِسَانِهِ تَخَلُّلَ الْبَاقِرَةِ بِلِسَانِهَا.

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membenci tukang omong yang memainkan lisannya sebagaimana sapi memainkan lidahnya.” [Sunan At-Tirmidzi no. 3090; Sunan Abu Dawud no. 5005]

Ibnu Al-Atsir dalam An-Nihayah fi Gharib Al-Atsar (2/145) dan juga mayoritas pemilik kitab syarh hadits memaknai tukang omong mirip sapi ini artinya adalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam berbicara agar nampak mempesona. Sementara itu Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir (2/359) membawakan beberapa makna hadits ini, salah satu yang paling menarik adalah, “Berbicara guna menghias-hiasi kebathilan agar nampak sebagai kebenaran atau mengakalinya atau memelintir hukum.”

BERKILAH, SUSAH RAIH MAGHFIRAH

Saat terjerembab dalam badai dosa, kita kadang berulah, “Usia saya masih muda, ajal masih jauh. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf. Amal-amal shalih saya sudah banyak, apalagi tabungan pahala jariyah saya. Bacaan Al-Baqiyat Ash-Shalihat juga manjur menghapus dosa. Bacaan subhanallah wa bihamdihi seratus kali juga menghapus dosa sebanyak buih lautan.” Padahal Allah lebih memaafkan jika kita mau mengakui kesalahan, namun mengapa kita lebih giat mencari-cari alasan pembenar kesalahan?

Rasulullah berkata,

لَنْ يَهْلِكَ النَّاسُ حَتَّى يَعْذِرُوْا مِنْ أَنْفُسِهِمْ

“Manusia tidak akan binasa sampai mereka membuat-buat ‘udzur untuk dirinya sendiri.” [Sunan Abu Dawud no. 4347. Shahih Al-Jami’ no. 5231]

Sebagaimana diuraikan oleh Al-Munawi (Faidh Al-Qadir 5/387) dan Al-Baghawi (Syarh As-Sunnah 14/349) bahwasanya orang-orang yang binasa itu ketika mereka berbuat dosa atau bahkan mereka sadar dosanya telah banyak, mereka kemudian mencari-cari udzur atau alasan/dalih yang bisa menjadi pembenar perbuatan dosa mereka hingga mereka pun mengira diri mereka telah berbuat kebaikan.

Akibat paling menyengsarakan dari kebiasaan berkilah adalah sulit mendapatkan maghfirah. Bukankah Allah Maha Pengampun? Itu benar, maghfirah Allah terbentang luas, tapi kita harus ingat, maghfirah Allah itu untuk siapa? Untuk orang yang bertaubat dan beristighfar. Adapun manusia setengah sapi rakus tentu saja berat untuk bertaubat dan beristighfar karena ia tidak mau mengakui dosa-dosanya, terbukti ia selalu cari pembenar yang itu berarti ia tidak mau disebut berdosa. Padahal Allah akan dengan cepat mengampuni dosa-dosa jika kita mau mengakui dan menyadari sekaligus menyesali.

Dari ‘Aisyah, Nabi Muhammad bersabda,

مَا أَذْنَبَ عَبْدِىْ ذَنْبًا فَنَدِمَ إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَغْفِرَته قَبْلَ أَنْ يَسْتَغِفْرَ

“Tidaklah hamba-Ku berbuat dosa kemudian dia menyesalinya kecuali Allah akan tetapkan baginya ampunan-Nya sebelum dia memohon ampun.” [Al-Mustadrak Al-Hakim 1/695 no. 1894]

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah menuturkan,

إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الأَشْهَادُ هَؤُلاَءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلاَ لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mendekatkan seorang hamba mu`min (kepada-Nya pada saat hisab) kemudian Allah tutupkan atasnya tirai dan menutupinya dari manusia, lantas Allah tampakkan kepadanya dosa-dosanya. Allah berfirman, “Apakah engkau tahu dosa ini dan dosa itu?” Sang hamba berkata, “Iya wahai Rabbku.” Sampai dia mengakuti semua dosanya dan yakin bahwa dirinya akan binasa. Allah kemudian berfirman, “Maka ketahuilah sesungguhnya Aku sungguh telah menutup semua dosamu di dunia, dan Aku menghapus semuanya untukmu pada hari ini. Kemudian diberikan buku catatan amal kebaikannya di tangan kanannya. Dan adapun orang-orang kafir dan munafir, maka bersaksilah para saksi (malaikat), “Mereka ini mendustakan Rabb mereka. Ketahuilah, laknat Allah atas orang-orang zhalim.”.” [Shahih: Shahih Al-Bukhari no. 2441, 4685; Shahih Muslim no. 7191; Sunan Ibnu Majah no. 183; As-Sunan Al-Kubra An-Nasa`i no. 11178. Shahih Al-Jami’ no. 1894]

Mari kita canangkan, dalam hidup ini pantang berkilah dan mencari-cari pembenar atas kesalahan kita. Mungkin kita perlu untuk mencatat baik-baik dalam qalbu kita bahwa barangkali kita bisa selamat dari hukuman (had) ketika kita berhasil dalam berkilah, namun bukankah pengadilan Allah akan tegak dan amal sekecil apapun akan terkuak?
 
Blogger Templates