@Oleh: Pana Pramulia
Saya pernah mengalami bagaimana hidup di dalam kemiskinan. Masih SD pada saat itu. Serba kekurangan merupakan peristiwa yang kami alami setiap saat. Orang tua berjualan jajanan di pasar desa yang lebih sering kurang laku. Betapa saya ingin menghapus kenangan itu karena pahitnya. Apabila saya sakit, jangankan di bawa ke dokter, membeli obat pun begitu berat. Karena panas tubuh saya tak kunjung reda, maka orang tua menempuh jalan terakhir yang lazim disebut jurus pamungkas saat itu: mencekoki ramuan pahit yang sebetulnya adalah jamu. Begitu trauma saya pada kepahitan itu. Saya menganggapnya sebagai ramuan hantu. Pengalaman mengenal rasa pahit benar-benar berlatar belakang keadaan yang pahit.
Dicekoki jamu pahitan itu saya bayangkan sebagai penganiayaan. Saya berpikir, begitu kejamnya orang tua saya terhadap anaknya sendiri. Sebenarnya, orang tua sudah meminta saya bersabar mengadapi keadaan berat tersebut. Tetapi, sebagai anak kecil saya terus meronta tanpa mengerti keadaan yang sesungguhnya. Memang begitulah lazimnya anak-anak, betapapun dalam kemiskinan, kalau boleh ia akan menyuruh orang tuanya mengambil bintang. Saya baru mengerti keadaan yang sesungguhnya ketika melihat Ibu berdoa ketika selesai sholat dengan berlinang air mata. Trenyuh hati saya, jantung berdebar hebat dan merasa bersalah karena ketidakmengertian saya.
Tetapi, peristiwa kemiskinan yang saya alami tersebut menjadi tumpuan untuk menjalani kehidupan. Kemiskinan memang pahit, tidak bisa membeli obat pasti tambah pahit, dan jamu pahitan itu pasti benar-benar pahit. Tiga pahit itulah yang hingga kini masih saya simpan sebagai kenangan. Walaupun pada awalnya rasa pahit itu saya anggap sebagai teror dan ketidakadilan Allah. Saya menganggap Allah tidak adil kepada saya, dan jamu pahitan itu sebagai musuh bebuyutan. Karenanya, muka saya selalu masam bila berpapasan dengan penjual jamu di jalanan. Beginilah hasil perkenalan yang keliru kepada kepahitan.
Pada awalnya, saya memerlakukan kepahitan itu sebagai musuh yang wajib disingkirkan. Padahal seluruh kemartabatan hidup manusia di hari ini, pasti adalah hasil kepahitan di masa silam. Di hari ini saya berpikir bahwa Allah memberikan segala kemudahan yang semuanya diletakkan pada kesulitan., agar saya selalu belajar, berusaha, dan berdoa senantiasa. Maka, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku,” (Surat Al-Qashash: 16).
Saya mengaku bersalah dengan perlakuan saya kepada penjual jamu, rasa pahit, dan bahkan anggapan saya kepada Allah. Padahal, Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah (185) “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur,” Begitu sayangnya Allah kepada manusia dan Dialah Yang Maha Adil. Di sisi lain, jamu dengan kualitas penyembuhan yang menakjubkan, selalu adalah jamu yang bersembunyi di kepahitan. Bratawali nama jamunya dengan warna hitam legam menduduki kasta tertinggi dalam soal kepahitan, tetapi jangan pernah menyebut diri peminum jamu sejati, jika belum sanggup meminum cairan ini.
Kini, saya sudah berdamai dengan cairan pahit ini. Setiap hari saya menunggu penjual jamu gendong ini lewat untuk membeli jamu yang paling pahit di seluruh isi gendongannya itu. Apabila ia tidak lewat, saya akan berusaha mencarinya untuk mendapatkan ramuan yang bertahun-tahun lamanya saya pandang sebagai hantu. Minum jamu pahit memang tidak mudah, dan harus ada unsur pemaksaan. Setiap hendak meminum, saya bahkan membutuhkan fokus terlebih dahulu. Dan setiap ramuan hitam ini habis saya teguk tanpa bernafas, saya mendesahkan kepahitannya dengan segera ke segenap penjuru angkasa. Ternyata pahitnya biasa, yang luar biasa adalah ketakutan saya sendiri. Sudah berkali-kali saya meminum jamu pahit ini. Saya menikmati dengan suka cita karena memang tidak menakutkan seperti yang saya duga. Kini kenangan pahit tersebut selalu saya rawat karena menguatkan. Kepada generasi muda, sungguh dibutuhkan usaha-usaha untuk merenungi dan berpikir akan kebesaran Allah SWT, agar tidak selalu menyalahkan kehidupan serta memandang kepahitan sebagai sesuatu yang wajib dalam hidup ini, tidak diperkenalkan sebagai hantu.