::Ust. Ali Bazher
Bukanlah sebuah fenomena yang bisa disangkal lagi bahwa umat Islam saat ini telah jauh dari agama dan Tuhannya. Umat ini telah banyak meninggalkan perintah Allah dan sebagian besar hal ini terjadi disebabkan karena mereka telah melampaui batas di dalam kehidupan ini. Entah karena berlebih-lebihan di dalam menjalankan agama ini ataukan mereka justeru melecehkan bagian-bagian dari agama yang agung ini. Hal ini Nampak begitu jelas di hadapan mata kita semua ketika banyak dari manusia telah bergelimang dengan perbuatan keji dan dosa. Dan sarana dan juga jalan yang menggiring mereka untuk berbuat dan bergelimang dosa tersebut begitu mudahnya didapatkan dan diperoleh. Butuh upaya yang keras dan usaha yang tidak kenal lelah untuk menghindarkan diri kita dari semua itu. Bahkan untuk seorang beriman pun mereka membutuhkan usaha dan energi yang berlipat ganda untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) di dalam membentengi diri mereka dari setiap sarana dan juga jalan yang mengarah ketepi jurang kehancuran dan kenistaan. Setiap muslim yang berupaya menjaga dirinya dan keluarganya bak memegang bara api sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, seorang yang bersabar di atas agamanya seperti memegang bara api”. (HR At Tirmidzi dari sahabat Anas hadits ini berderajat hasan li ghairihi; lihat di Ash-Shahihah no. 957)
Namun setiap muslim harus meyakini bahwa tiada sebuah permasalahan kecuali Allah akan mendatangkan solusi dan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Maka janganlah permasalahan itu menjadikan seorang muslim menjadi putus asa terlebih lahi pesimis. Rasulullah menyatakan dalam sabdanya,
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
Allah Subhanallahu Wa Ta’ala tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya, dan Imam Ahmad menambahkannya,
عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
Orang yang mengetahuinya akan mengetahuinya dan orang yang tidak mengetahuinya juga tidak akan mengetahuinya. (HR. Ahmad dalam Musnadnya no. 3578 dan hadits ini diriwayatkan dalam kitab As-Sunan dan lainnya dengan berbagai jalan periwayatan dan lafadznya)
Dan hadits itu bersifat umum terhadap setiap penyakit tanpa terkecuali, termasuk penyakit yang dapat menyebabkan hati seorang muslim menjadi sakit terlebih lagi mati. Dan juga pada akhirnya akan merusak keimanan seorang muslim.
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa hadits ini bersifat umum terhadap setiap penyakit termasuk penyakit-penyakit hati, ruh dan badan serta obatnya.[1]
Terpuruknya kondisi yang terjadi pada umat, dengan berbagai penyakit yang melanda mereka sehingga umat ini berada pada kondisi yang sangat menyedihkan. Banyaknya manusia yang menyeru kepada kerusakan dan kesesatan serta memalingkan umat dari jalan yang benar. Dan sedikitnya manusia yang mengajak kepada kebaikan dan jalan menuju perbaikan. Namun hendaklah setiap muslim yang meyakini akan selalu adanya para penyeru ke jalan kebaikan dan orang-orang berteduh kepadanya. Karena termasuk dari pengamalan hadits tersebut bahwa setiap atau sejauh apapun kerusakan pasti ada jalan keluar yang bisa ditempuh demikian pula pasti ada jalan-jalan yang dapat menolong setiap muslim untuk keluar dari berbagai kondisi buruk tersebut termasuk diantaranya jalan yang akan membebaskan dan menghindarkan setiap muslim dari berbagai bentuk dosa. Maka tidaklah muncul berbagai sumber kerusakan kecuali pasti akan ada keberadaan berbagai jalan yang akan menjadi penawar atau obatnya.[2]
Maka tidaklah setiap muslim sejati, kecuali akan berupaya menasihati dirinya untuk berjalan diatas jalan keselamatan. Mereka berupaya keras, untuk menapaki sebab-sebab tersebut guna menghindarkan diri dari berbagai kejelekan, kesalahan dan dosa.
Sebab-sebab itulah yang berupaya dihimpun dan dirumuskan oleh para ulama. Agar bisa dijelaskan kepada umat sehingga mereka bisa terlepas dan terhindar dalam menjalani kehidupan dunia ini dari berbagai dosa dan kesalahan. Dan diantara ulama yang berbicara akan hal ini adalah Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah beliau adalah pakar dari kesehatah hati ataupun boleh disebut dokternya penyakit-penyakit hati. Beliau menjelaskan kepada kita akan berbagai penyakit-penyakit yang ada dalam hadi manusia sehingga manusia mengetahui akan penawar dari berbagai penyakit tersebut.
Dari ucapan beliau kami ringkas sebagian dari sebab-sebab yang akan bisa menghindarkan seorang muslim dari perbuatan dosa dan kemaksiatan. Diantara sebab-sebab tersebut itu adalah :
1. Berdoa kepada Allah dan berupaya segera berlari (kembali) kepada Allah.
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah berkata : demikianlah doa karena sesungguhnya doa adalah sebab yang terkuat dalam menahan segala hal yang tidak diinginkan dan menggapai semua harapan. Doa adalah hal yang paling bermanfaat obat yang paling mujarab. Doa adalah musuh dari segala bentuk bala’. Doa akan mencegah dan mengobatinya. Doa akan mencegah, mengangkatnya sebelum terjadinya dan meringankanya dan apabila bala’ itu telah terjadi (turun). Doa adalah senjata orang-orang yang beriman.
Allah berfirman, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. An-Naml: 62)
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya Aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzaariyat: 50)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dan oleh sebab itulah doa yang paling agung dan paling mulia adalah doa sebagaimana termaktub dalam surat Al-Fatihah, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus. Jalan yang engau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 5-7)
Maka siapa saja yang mendapatkan petunjuk dari Allah, menuju jalan tersebut dan diberikan pertolongan oleh Allah untuk mentaatiNya dan meninggalkan semua bentuk maksiat maka ia tidak akan tertimpa kejelekan di dunia dan akhirat. [3]
2. Menyaksikan Keagungan Allah dan Siapa saja yang bermaksiat kepadaNya Allah melihat dan mendengarNya.
Ibnul Qoyyim berkata mengagungkan Allah bahwa siapa saja yang bermaksiat kepadaNya maka Allah melihat dan mendengar dan barangsiapa yang menegakkan didalam hatinya akan keagungan Allah maka ia tidak akan berpaling dariNya sama sekali.
Maka siapa saja yang berbuat maksiat sedangkan ia mengetahui Allah menyaksikannya tiada tersembunyi sesuatupun darinya. Hal ini menunjukkan akan hilangnya pengagungan seorang hamba padaNya dan juga rasa malunya kepada Allah.
Allah berfirman, “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh : 13)
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata Rasulullah bersabda : “Malulak kelian kepada Allah dengan sebenar benarnya malu. Kami berkata, “Ya Rasulullah, kami malu kepada Allah dan segala puji hanya milik Allah. Rasulullah menjawab, “ Bukan itu akan tetapi, malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenarnya, peliharalah kepala dengan apa yang ada padanya dan perut dan apa yang terkandung di dalamnya, ingatlah al-maut dan juga malapetaka dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka tinggalkan perhiasan kehidupan dunia dan siapa saja yang berbuat hal itu maka ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” [4]
Maka siapa saja yang mengira bahwa ia bisa bersembunyi dan lari dari setiap manusia agar bisa berbuat maksiat kepada Allah. Maka sesungguhnya ia lalai bahwa Allah bisa menyaksikannya, “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan Keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. dan adalah Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108)
Berhati-hatilah kalian wahai manusia jikalau bahwa kalian menganggap bahwa penglihatan atau pengawasan Allah itu tidak seberapa dibandingkan yang lainnya.
3. Menghadirkan Kecintaan Allah dalam kehidupannya
Ibnul Qoyyim berkata, “menyaksikan akan kecintaan seorang hamba kepada Allah, dan meninggalkan berbuat maksiat kepadaNya sebagai bentuk cinta kepada Allah. Karena sesungguhnya seorang yang mencintai terhadap apa yang dicintai akan selalu taat.”
Setiap muslim akan selalu mengatakan ia mencintai Allah. Namun seruan ini hanyalah seruan saja apabila tiada buktinya. Dan bukti yang akan membuktikan kebenaran cinta seorang hamba kepada Allah adalah sebagaimana firmanNya, “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imron: 31)
Allah dalam firmanNya ingin menyapa setiap hambaNya yang mengatakan cinta kepadaNya bahwa untuk membuktikan cinta mereka dan kebenaran cintanya. Bahwa bukti cintanya adalah dengan mengikuti nabi-Nya. Dan hal itu dikatakan benar jikalau setiap orang itu mentaati perintahnya, dan menhindari atau meninggalkan setiap apa yang dilarang karena mentaati NabiNya adalah bernilai ketaatan kepadaNya. Sebagaimana berbuat maksiat kepada Nabi maka itu bernilai maksiat kepada Allah. Maka jikalau seorang mengatakan cinta kepada Allah maka hal ini mengharuskan seseorang membuktikan cintanya kepada Allah sebagaimana berkata penyair,
Kalian bermaksiat namun tampakkan cinta kepadaNya
Ini adalah sebuah permisalan kias yang tidak mungkin
Jikalau cinta kalian adalah nyata adanya
Sungguh orang yang cinta terhadap apa yang dicinta itu taat
Maka mencintai Allah mengharuskan seseorang untuk taat kepadaNya dan meninggalkan berbuat maksiat kepadaNya. Barangsiapa yang mengatakan cinta kepadaNya namun ia tidak melaksanakan hal tersebut maka sungguh itu hanyalah bualan belaka dan dusta.
Ini adalah tiga diantara banyak hal yang akan membimbing seorang muslim untuk menghindarkan dirinya dari berbagai perbuatan dosa dan juga akan membentengi diri dari perbuatan maksiat.
Semoga dengan melaksanakan ketiga perkara tersebut seorang muslim dapat memelihara diri pribadinya, keluarganya, masyarakat banyak dari berbuat hal-hal yang dilarang oleh Allah.
[1] Ad-Da’ wa Ad-Dawa’
[2] Uddatus Shabirin wa Dakratusy Syakirin
[3] Majmu’ Al-Fatawa 14/ 320-321
[4] HR. Ahmad, Tirmidzi dan hadits ini hasan li ghairihi dan lihat pula Shahih At-Targhib
