“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21)
Ayat yang agung di atas, di setiap bulan
Rabi’ul Awwal, biasanya menjadi ayat yang paling sering terdengar dari
corong-corong masjid. Tentu saja melalui mimbar-mimbar ceramah maulid.
Para penceramah maulid juga tidak pernah lupa mengingatkan makna inti
yang terkandung dalam ayat tersebut, bahwa kita sebagai umat Muhammad
wajib untuk menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam
mengamalkan agama. Belakangan, mencuat sebuah pertanyaan, sudahkah makna
inti ayat tersebut terealisasi pada diri dan masyarakat muslim kita?
Dan apakah kita telah memahami hakikat “uswatun hasanah” yang diinginkan oleh ayat tersebut?
Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di
atas secara khusus dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat
memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para sahabat benar-benar
dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para sahabat mengganjal
perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh
kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah suri teladan
dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan
dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan
perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq,
diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya
diikuti oleh umatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat
khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar
belakanginya. (lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139)